Minggu, 17 Maret 2013

Analisis Kehadiran Apoteker di Apotek dari Sisi Etika Profesi

(NO PHARMACIST NO SERVICE ???)

Apoteker atau ada yang menyebutnya dengan farmasis merupakan salah satu dari profesi kesehatan. Untuk menjadi seorang apoteker, maka setelah menamatkan sekolah menengahnya, seseorang harus melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi dengan memilih jurusan FARMASI.
Jurusan ini berlangsung selama 4 tahun atau 8 semester. Setelah studi ini diselesaikan dan mendapatkan gelar Sarjana, maka langkah selanjutnya adalah mengambil kuliah profesi selama 1 tahun atau 2 semester. Baru setelah kuliah profesi ini diselesaikan, seseorang berhak menyandang profesi apoteker yang sebelumnya harus mengucapkan sumpah profesi di hadapan pemuka agama yang didatangkan dari instansi berwenang.

Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut. Secara garis besar, suatu profesi mengandung :
Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktek.

Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya.

Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.

Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.

Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan institusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.

Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.

Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.

Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.

Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.

Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.

Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat

(Wikipedia)

Dengan melihat nama profesi ini, maka apoteker sangat erat dikaitkan dengan apotek. Apotek sebagai salah satu tempat pengabdiaan pekerjaan kefarmasian, tempat yang paling banyak menampung apoteker. Sesuai dengan peraturan pemerintah, apotek harus dibawah tanggung jawab seorang apoteker. Di Indonesia, satu apotek pada umumnya memiliki satu apoteker, kecuali pada beberapa apotek besar. Apotek di Indonesia dalam menjalankan tugasnya, apoteker dibantu oleh beberapa tenaga teknis seperti asisten apoteker, juru racik, kasir atau tenaga lainnya.

Apoteker dalam apotek mempunyai peluang 100% untuk dapat menjumpai dan berkomunikasi dengan pasien, memberikan inforrmasi terkait dengan obat. Akan tetapi, bagaimana dengan kenyataannnya? Pada masa sekarang ini, apoteker masih belum dapat memenuhi tugasnya untuk berada di apotek.

Alasan-alasan yang dikemukakan pun bermacam-macam, seperti minimnya jumlah tenaga (hanya 1 apoteker), gaji yang kecil sehingga double-job, atau ini hanya sebagai pekerjaan sampingan sehingga kurang memiliki tanggung jawab terhadap keberadaannya di apotek.

Keberadaan apoteker di apotek bukan hanya sekedar keberadaannya, karena keberadaan apoteker terkait dengan obat yang berguna untuk mencegah, mengobati, dan akhirnya menyembuhkan, dalam artiannya terkait dengan hidup pasien. Hal ini menjadikan peranan apoteker di apotek sangatlah penting, terutama bila dikaitkan dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar kompetensi apoteker di apotek ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek. Didalam standar tersebut pelaksanaan farmasi di apotek terdiri dari pelayanan obat non resep (bidang I), pelayanan komunikasi – informasi – edukasi (bidang II), pelayanan obat resep (bidang III) dan pengelolaan obat (bidang IV) (Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi, 2003).

Pelayanan Obat Non Resep

Pelayanan Obat Non Resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal (Dirjen POM, 1997).

Apoteker dalam melayani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang tercantum dalam daftar OWA 1 dan OWA 2. Wajib pula membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan. Apoteker hendaknya memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu

diperhatikan oleh pasien (Permenkes No.347 tahun 1990; Permenkes No.924 tahun 1993).

Pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Apoteker hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga kesehatan lain, termasuk kepada dokter. Termasuk memberi informasi tentang obat baru atau tentang produk obat yang sudah ditarik. Hendaknya aktif mencari masukan tentang keluhan pasien terhadap obat-obat yang dikonsumsi. Apoteker mencatat reaksi atau keluhan pasien untuk dilaporkan ke dokter, dengan cara demikian ikut berpartisipasi dalam pelaporan efek samping obat (ISFI, 2003). Konseling pasien merupakan bagian dari KIE. Kriteria pasien yang memerlukan pelayanan konseling diantaranya penderita penyakit kronis seperti asma, diabetes, kardiovaskular, penderita yang menerima obat dengan indeks terapi sempit, pasien lanjut usia, anak-anak, penderita yang sering mengalami reaksi alergi pada penggunaan obat dan penderita yang tidak patuh dalam meminum obat. Konseling hendaknya dilakukan di ruangan tersendiri yang dapat terhindar dari macam interupsi (Rantucci, 1997; ASHP, 1993). Pelayanan konseling dapat dipermudah dengan menyediakan leaflet atau booklet yang isinya meliputi patofisiologi penyakit dan mekanisme kerja obat.

Pelayanan Obat Resep

Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat yang ditulis dalam resep dengan obat lain. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang ditulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih terjangkau (Permenkes No.24 tahun 1993). Pelayanan resep didahului proses skrining resep yang meliputi pemeriksaan kelengkapan resep, keabsahan dan tinjauan kerasionalan obat. Resep yang lengkap harus ada nama, alamat dan nomor ijin praktek dokter, tempat dan tanggal resep, tanda R/ pada bagian kiri untuk tiap penulisan resep, nama obat dan jumlahnya, kadang-kadang cara pembuatan atau keterangan lain (iter, prn, cito) yang dibutuhkan, aturan pakai, nama pasien, serta tanda tangan atau paraf dokter (Dewi, 1985). Tinjauan kerasionalan obat meliputi pemeriksaan dosis, frekuensi penberian, adanya medikasi rangkap, interaksi obat, karakteristik penderita atau kondisi penyakit yang menyebabkan pasien menjadi kontra indikasi dengan obat yang diberikan (WHO, 1987).

Pengelolaan Obat

Kompetensi penting yang harus dimiliki apoteker dalam bidang pengelolaan obat meliputi kemampuan merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efesien. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan jaminan mutu pelayanan (ISFI, 2003).

Masih pentingkah peran apoteker saat ini sering dipertanyakan mengingat jumlah dan jenis obat obatan yang dapat diperoleh dalam perdagangan sekarang ini lebih banyak ditangani oleh orang yang bukan tenaga kefarmasian, peracikan obat telah digantikan oleh pabrik farmasi pada hampir semua formulasi, dan obat-obatan dapat pula diperoleh dengan order via pos, telepon atau internet atau dijual oleh dokter praktek dan diracik secara mesin racikan komputer. Namun peran apoteker tentu saja tidak hanya sebatas produk, seperti yang tertuang pada dimensi baru pekerjaan kefarmasian berikut ini :
ASUHAN KEFARMASIAN ( Pharmaceutical care )
FARMASI BERDASARKAN BUKTI ( Evidence base pharmacy )
KEBUTUHAN MENJUMPAI PASIEN ( Meeting patients needs )
PENANGANAN PASIEN KHRONIS-HIV/AIDS ( Chronic patient care hiv/aids )
PENGOBATAN SENDIRI ( self-medications )
JAMINAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN ( quality assurance of pharmaceutical care )
FARMASI KLINIS ( clinical pharmacy )
KEWASPADAAN OBAT ( pharmacovigilance = MESO ).

Bila ditinjau oleh standar pelayanan kefarmasian apoteker di apotek dan dimensi baru pekerjaan kefarmasian di atas, sangat terlihat peran apoteker yang sangat penting dan tidak dapat digantikan oleh profesi kesehatan lain. Lalu bagaimana pelayanan tersebut dapat diberikan apabila apoteker tidak berada di apotek? Bagaimana seharusnya apoteker terkait dengan keberadaanya di apotek? Apakah peraturan pemerintah /undang-undang/kode etik telah mendukung hal tersebut?



Analisis Kehadiran Apoteker di Apotek Dari Sisi Etika Profesi

Dalam kode etik farmasi, apoteker mempunyai kewajiban-kewajiban, baik secara umum, kepada pasien, teman sejawat, atau petugas kesehatan yang lain. Kewajiban-kewajiban ini akan terlaksana bila apoteker berada dalam tempat kerjanya. Peraturan pemerintah yang terbaru, PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pasal 25 ayat 2 juga mendukung keberadaan apoteker dalam setiap fasilitas kefarmasian, seperti dalam apotek. Walaupun pada sebagian besar dalam pendirian apotek, apoteker bekerjasama dengan pemodal, dikatakan bahwa pekerjaan kefarmasian sepenuhnya tetap dipegang oleh apoteker. Hal ini berarti bahwa izin apotek diberikan kepada apoteker, bukanlah kepada pemilik modal maka sudah sepantasnya lah pekerjaan kefarmasian dilakukan dan merupakan tanggung jawab seorang apoteker.

Secara umum, terkait kode etik farmasi maka kehadiran apoteker di apotek sangat penting. Hal ini disebabkan karena setiap penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 21 ayat 2). Selain menyerahkan obat dari resep dokter (obat keras), apoteker juga dihadapkan oleh kebutuhan pemberian obat lain seperti obat wajib apotek, obat bebas, dan obat bebas terbatas dalam kaitannya dengan kebijakan self medication (pengobatan sendiri).

Kode etik apoteker Indonesia Pasal 3 : “Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya” dan pasal 9 : “Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani”, menerangkan peran apoteker dalam mengutamakan patient safety untuk mencegah medication error. Apoteker harus selalu menjalankan profesi sesuai standar kompetensi apoteker yang telah ditetapkan dan dilandasi prinsip kemanusiaan. Secara etis epistemologis, apoteker harus menyadari bahwa dia tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk masyarakat.

Dalam kode etik perihal kewajiban terhadap pasien bahwa apoteker harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai apoteker sebaiknya tidak hanya berfokus untuk kepentingan pribadi namun lebih luas kepada kepentingan pasien untuk mencegah medication error, menjaga keselamatan hidup pasien (patient safety) dan lebih lanjut meningkatkan QoL (quality of life dari pasien). Hal ini dapat dilakukan dengan terus meningkatkan kompetensi. Pemerintah pun telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Adanya standar ini mengenai standar apa saja yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kompetensinya.

Apoteker juga berperan sebagai sumber informasi. Sesuai kode etik apoteker Indonesia pasal 7 : “Menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya”. Apoteker sebagai sumber informasi terkait dengan obat, baik kepada penderita atau teman kerja (asisten apoteker). Bila sumber informasi tidak ditemukan dalam apotek, maka pasien/asisten apoteker akan menemukan kesulitan kepada siapa akan menanyakan berbagai hal terkait obat. Terlebih lagi saat ini masyarakat telah menyadari pentingnya kesehatan sehingga masyarakat lebih kritis terhadap kesehatannya, sehingga informasi obat sangat penting untuk disampaikan kepada pasien.

Apoteker juga perlu mereview peraturan pemerintah tentang kewajiban adanya apoteker di apotek selama apotek buka. Jika apotek buka selama 13 jam dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam, maka minimal dalam 1 apotek diperlukan 2 apoteker. Ketika seorang apoteker tidak dapat memenuhi kewajibannya di suatu tempat kerja, misalnya di apotek, dia dapat mengangkat apoteker pendamping dan/atau apoteker pengganti maka syarat bahwa ada apoteker di apotek menjadi terpenuhi. Adanya peraturan ini, secara jelas menjelaskan bahwa keberadaan apoteker di apotek adalah mutlak. Bila dikaitkan dengan kode etik apoteker Indonesia pasal 5 : “Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”. Bila apoteker tidak hadir di apotek, bisa dikatakan dia melanggar kode etik yaitu mencari keuntungan diri semata dengan mendapat gaji buta. Hal ini sangat bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

Sebagai profesional yang memiliki kode etik keprofesian yang berperan sebagai ujung tombak dalam rantai pelayanan kesehatan khususnya obat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, maka sudah seharusnya apoteker berada di apotek untuk melakukan pelayanan kefarmasian.


Kesimpulan

Sebagai profesional yang memiliki kode etik keprofesian yang berperan sebagai ujung tombak dalam rantai pelayanan kesehatan khususnya obat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, maka sudah seharusnya farmasis berada di apotek untuk melakukan pekerjaan kefarmasiannya. Bila kompetensi apoteker digunakan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam menjalankan pekerjaankefarmasiaan maka berarti apoteker telah berperilaku sesuai kode etiknya, yang pada akhirnya kualitas hidup pasienlah yang akan meningkat.

sumber : http://sisicia.wordpress.com/tag/etika-farmasi/

0 komentar:

Posting Komentar