A. Pengertian
Hasil survey yang diambil dari beberapa negara
menunjukkan bahwa 2 – 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang
autisme dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki – laki dan
perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentan menyandang
sindrom autisme dibandingkan anak perempuan (Purwati,2007).Istilah
autis berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme berarti
aliran. Jadi autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada
dunianya sendiri (Purwati, 2007).
Gangguan autis adalah salah satu
perkembangan pervasif berawal sebelum usia 2,5 tahun (Devision, 2006).
Anak Autisme mengalami gangguan perkembangan yang kompleks yang
disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan
gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi,
sensori, dan belajar (Ginanjar, 2001).
Gangguan perkembangan organik
dan bersifat berat yang dialami oleh anak autis menyebabkan anak
mengalami kelainan dalam aspek sosial, bahasa (komunikasi) dan
kecerdasan (sekitar 75 – 80 % retardasi mental) sehingga anak sangat
membutuhkan perhatian, bantuan dan layanan pendidikan yang bersifat
khusus (Hadis,2006).
B. Etiologi Autis
Autisme dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, di bawah ini adalah faktor – faktor
yang menyebabkan terjadinya autis menurut Kurniasih (2002) diantaranya
yaitu:
1. Faktor Genetik
Faktor pada anak autis, dimungkinkan
penyebabnya adanya kelainan kromosom yang disebutkan syndrome fragile – x
(ditemukan pada 5-20% penyandang autis).
2. Faktor Cacat (kelainan pada bayi)
Disini
penyebab autis dapat dikarenakan adanya kelainan pada otak anak, yang
berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama kehamilan ataupun
setelah persalinan, kemudian juga disebabkan adanya Kongenital Rubella,
Herpes Simplex Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection.
3. Faktor Kelahiran dan Persalinan
Proses
kehamilan ibu juga salah satu faktor yang cukup berperan dalam
timbulnya gangguan autis, seperti komplikasi saat kehamilan dan
persalinan. Seperti adanya pendarahan yang disertai terhisapnya cairan
ketuban yang bercampur feces, dan obat-obatan ke dalam janin, ditambah
dengan adanya keracunan seperti logam berat timah, arsen, ataupun
merkuri yang bisa saja berasal dari polusi udara, air bahkan makanan.
Seperti
gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang
memiliki banyak sebab, sekaligus penyebabnya tidak sama dari satu kasus
ke kasus lainnya. Padahal, penyebab-penyebab itu tidak berdiri sendiri,
dengan kata lain sangat sulit menentukan penyebab tunggal dari gangguan
autisme. Bahkan hingga kini belum bisa ditegakkan penyebab pasti
autisme. (Kurniasih, 2002).
Banyak pakar telah sepakat bahwa pada
otak anak di jumpai suatu kelainan pada otaknya. Ada 3 lokasi di otak
yang ternyata mengalami kelainan neuro-anatomis. Dari penelitian yang
dilakukan oleh pakar dari banyak negara diketemukan beberapa fakta yaitu
adanya kelainan anatomis pada lobus parietalis, cerebellum dan sistem
limbik. 43% penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis
otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan
juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus VI dan
VII. Otak kecil bertanggungjawab atas proses sensoris, daya ingat,
berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian)
(Purwati,2007).
Pada penelitian terhadap otopsi, ditemukan bahwa sel –
sel di dalam cerebellum, yang disebut sel purkinye, sangat sedikit
jumlahnya, sedangkan sel – sel ini mempunyai kandungan serotonin
(neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk hubungan di antara sel –
sel otak) yang tinggi (Maulana,2007). Pada 30% penyandang autisme
serotonin kadarnya tinggi dalam darah dan dopamin diduga kadarnya rendah
dalam darah. Selain itu, pada anak autis juga mengalami penurunan kadar
endorphin yang dibutuhkan dalam pengaturan aktifitas otak (Masra,2005).
Dengan kata lain ketidakseimbangan antara neurotransmitter di dalam
otak akan menyebabkan kacaunya lalu lalang impuls di dalam otak
(Maulana,2007).
Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem
limbik yang disebut hippocampus dan amygdala. Akibatnya terjadi gangguan
fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat
mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau sangat pasif.
Amygdala juga bertanggungjawab terhadap berbagai rangsang sensoris
seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, perasa, dan rasa
takut. Hippocampus bertanggungjawab terhadap fungsi belajar dan daya
ingat. Terjadilah kesulitan penyampaian informasi baru (Purwati,2007).
C. Tanda dan Gejala Awal Autis
Gejala
autisme timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak,
tanda dan gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat
cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan
sebelum anaknya mencapai 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak
adanya bahasa atau sangat kurangnya tatap mata. Menurut Judarwanto
(2006), berikut adalah tanda-tanda awal mengenali gejala autis:
1.
Gambaran yang paling umum terjadi, biasanya merupakan bayi yang sangat
manis dan baik, namun sangat pasif dan sangat pendiam seperti tidak
mempunyai bayi di rumah.
2. Sebagian kecil justru sebaliknya,
menjerit sepanjang waktu tanpa berhenti, tanpa dapat ditenangkan /
dibujuk, orang tua tidak tahu apa sebabnya
3. Tidak menunjuk saat usia 1 tahun , tidak mengoceh
4. Usia 16 bulan, belum keluar satu katapun
5. Usia 2 tahun belum bisa merangkai 2 kata
6. Hilangnya kemampuan berbahasa
7. Tidak bisa main pura-pura (Pretend Play)
8. Kurang tertarik untuk berteman
9. Sangat sulit untuk memusatkan perhatian
10. Tidak ada respon bila dipanggil namanya
11. Kontak mata sangat minim / tidak ada gerakan tubuh yang repetitive
D. Jenis Autisme
Berdasarkan waktu munculnya gangguan, Kurniasih (2002) membagi autisme menjadi dua yaitu:
1. Autisme sejak bayi (Autisme Infantil)
Anak
sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak non
autistik, dan biasanya baru bisa terdeteksi sekitar usia bayi 6 bulan.
2. Autisme Regresif
Ditandai
dengan regresif (kemudian kembali) perkembangan kemampuan yang
sebelumnya jadi hilang. Yang awalnya sudah sempat menunjukkan
perkembangan ini berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap.
Dan jika awalnya sudah bisa mulai mengucapkan beberapa patah kata,
hilang kemampuan bicaranya. (Kurniasih, 2002).
Sedangkan Yatim, Faisal Yatim (dalam buku karangan purwati, 2007) mengelompokkan autisme menjadi 3 kelompok :
1. Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir
2. Autisme Reaksi
Autisme
ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7
tahun) sebelum anak memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga
terjadi sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita autisme reaktif
ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang dan kadang –
kadang disertai kejang – kejang.
3. Autisme Yang Timbul Kemudian .
E. Kriteria Diagnosis Anak dengan Autisme
Depdiknas
(2002) yang dikutip oleh Hadis (2006), mendeskripsikan karakteristik
anak autis berdasarkan jenis masalah atau gangguan yang dialami oleh
anak autis. Ada 6 jenis masalah atau gangguan yang dialami oleh anak
autis, yaitu masalah komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris,
gangguan pola bermain, gangguan perilaku, dan gangguan emosi. Keenam
jenis masalah atau gangguan ini masing – masing memiliki karakteristik.
Karakteristik dari masing – masing jenis masalah/gangguan tersebut
dideskripsikan sebagai berikut :
1. Masalah/gangguan di bidang komunikasi :
a.
Perkembangan bahasa anak autis lambat atau sama sekali tidak ada. Anak
nampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara lalu
kemudian hilang kemampuan bicara.
b. Terkadang kata – kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
c. Mengoceh tanpa arti secara berulang – ulang, dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain.
d. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi. Senang meniru atau membeo (Echolalia).
e. Bila senang meniru, dapat menghafal kata – kata atau nyanyian yang didengar tanpa mengerti artinya.
f. Sebagian dari anak autis tidak berbicara (bukan kata – kata) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
g. Senang menarik – narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang dia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
2. Masalah/gangguan di bidang interaksi sosial :
a. Anak autis lebih suka menyendiri
b. Anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau menghindari tatapan muka atau mata dengan orang lain.
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya maupun yang lebih tua dari umurnya.
d. Bila diajak bermain, anak autis itu tidak mau dan menjauh.
3. Masalah/gangguan di bidang sensoris :
a. Anak autis tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b. Anak autis bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c.
Anak autis senang mencium –cium, menjilat mainan atau benda – benda
yang ada disekitarnya. Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
4. Masalah/gangguan di bidang pola bermain :
a. Anak autis tidak bermain seperti anak – anak pada umumnya.
b. Anak autis tida suka bermain dengan anak atau teman sebayanya.
c. Tidak memiliki kreativitas dan tidak memiliki imajinasi.
d. Tidak bermain sesuai fungsinya, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar – putar.
e. Senang terhadap benda – benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda, dan sejenisnya.
f. Sangat lekat dengan benda – benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana – mana.
5. Masalah/gangguan di bidang perilaku :
a. Anak autis dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif (hiperaktif) dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
b.
Memperlihatkan perilaku stimulasi diri atau merangsang diri sendiri
seperti bergoyang –goyang, mengepakkan tangan seperti burung.
c.
Berputar –putar mendekatkan mata ke pesawat televisi, lari atau berjalan
dengan bolak – balik, dan melakukan gerakan yang diulang – ulang.
d. Tidak suka terhadap perubahan.
e. Duduk bengong dengan tatapan kosong.
6. Masalah/gangguan di bidang emosi :
a. Anak autis sering marah – marah tanpa alasan yang jelas, tertawa – tawa dan menangis tanpa alasan yang jelas.
b. Dapat mengamuk tak terkendali jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.
c. Kadang agresif dan merusak.
d. Kadang – kadang menyakiti dirinya sendiri.
e. Tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain yang ada disekitarnya atau didekatnya.
Rumusan
diagnostik lain yang juga dipakai di seluruh dunia untuk menjadi
panduan diagnosis adalah yang disebut DSM-IV (Diagnostic and Statistical
Manual) 1994, yang dibuat oleh grup psikiatri dari Amerika
(Maulana,2007).
Untuk mempermudah pengertian, berikut sedikit pembahasan mengenai DSM-IV:
1)
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal dua
gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3).
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala di bawah ini :
a.
Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai; kontak mata
sangat kurang, ekspresi wajah kurang hidup, gerak – gerik yang kurang
terfokus.
b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya.
c. Tak dapat merasakan dengan apa yang dirasakan orang lain.
d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala – gejala di bawah ini :
a.
Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (tak ada
usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan di ulang – ulang.
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
3.
Suatu pola yang dipertahankan dan diulang – ulang dalam perilaku, minat
dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala di bawah ini :
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih – lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada gunanya.
c. Ada gerakan – gerakan yang aneh yang khas dan diulang – ulang.
d. Sering kali sangat terpukau pada bagian – bagian benda.
2)
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang : (1) interaksi sosial, (2) bicara dengan berbahasa, (3) cara
bermain yang kurang variatif.
3) Bukan disebabkan oleh sindroma Rett Gangguan disintegratif Masa Kanak – kanak (Maulana, 2007).
F. Hambatan – hambatan dan gangguan yang Terjadi pada Anak Autis
Dari
adanya tanda dan gejala yang tampak pada anak autis berdasarkan
pendapat Masra (2005), berbagai masalah/gangguan atau hambatan pun
muncul, diantaranya yaitu:
1. Hambatan kualitatif dalam interaksi sosial
Interaksi sosial pada anak autis diatur dibagi dalam 3 kelompok yaitu:
a.
Menyendiri (aloof) : banyak terlihat pada anak-anak yang menarik diri,
acuh tak acuh, dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta
menunjukkan perilaku serta perhatian yang terbatas (tidak hangat)
b. Pasif : dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola permainan disesuaikan dengan dirinya.
c. Aktif tetapi aneh : secara spontan akan mendekati anak lain namun seringkali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.
Hambatan
sosial pada anak autisme akan berubah sesuai dengan perkembangan usia.
Biasanya, dengan bertambahnya usia maka hambatan tampak semakin
berkurang.
2. Hambatan kualitatif dalam komunikasi verbal / non verbal dan dalam bermain.
Keterlambatan
dan abnormalitas dalam berbahasa serta berbicara merupakan keluhan yang
sering diajukan oleh para orang tua, sekitar 50 % mengalami sebagai
berikut :
a. Bergumam yang biasanya muncul sebelum dapat mengucapkan kata-kata, mungkin tidak tampak pada anak autis.
b. Sering mereka tidak memahami ucapan yang diajukan pada mereka.
c.
Biasanya mereka tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk
menyampaikan keinginannya ; tetapi dengan mengambil tangan orang tuanya
untuk mengambil objek yang dimaksud.
d. Mereka mengalami kesukaran
dalam memahami arti kata-kata serta kesukaran dalam menggunakan bahasa
dalam konteks yang sesuai dan benar.
e. Bahwa satu kata mempunyai banyak arti mungkin sulit untuk dapat dimengerti oleh makna.
f. Anak autisme sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar sebelumnya tanpa maksud untuk berkomunikasi.
g. Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan terbalik, seperti “saya” menjadi kamu.
h. Penggunaan bahasa kiasan yang aneh.
i. Bahasa monoton, kaku dan menjemukan.
j. Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan emosi.
k. Komunikasi non verbal juga mengalami gangguan
Menurut
Paul 1987, sekitar 50 % anak-anak autistik tidak pernah belajar bicara
sama sekali. Sementara itu, pada mereka yang belajar bicara, bicaranya
mencakup berbagai keanehan. Salah satu caranya adalah ekolalia, dimana
si anak mengulangi, biasanya dengan ketepatan yang luar biasa, perkataan
orang lain yang didengarnya (Masra,2005).
Ekolalia dibedakan menjadi
2 yaitu : (1) Ekolalia Langsung; jika si anak menirukan pembicaraan /
perkataan orang lain saat itu juga, dan (2) Ekolalia Tertund; apabila si
anak mendengar suatu perkataan dari televisi dan beberapa jam kemudian
bahkan keesokan harinya si anak dapat mengulang satu kata atau kalimat
dalam program televisi tersebut (Masra,2005).
Kata-kata ciptaan atau
bahasa yang digunakan dengan cara tidak biasa, merupakan karakteristik
dalam pembicaraan anak-anak autistik. Kelemahan komunikasi tersebut
dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada anak-anak dengan autisme
dan bukan sebaliknya. Meskipun demikian sekalipun mereka telah belajar
berbicara, orang-orang dengan autisme seringkali kurang tepat dalam
penggunaan bahasanya (Masra,2005).
3. Gangguan Kognitif
Hampir
75-80 % anak autis mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata
sedang. Sebanyak 50 % dari idiot sefants, yakni anak dengan retardasi
mental yang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti menghitung
kalender, memainkan satu lagu hanya dari sekali mendengar, mengingat
nomor-nomor telepon, dan sebagainya.
4. Gangguan Perilaku Motorik
Kebanyakan
anak autisme menunjukkan adanya stereotip, seperti bertepuk-tepuk
tangan dan menggoyangkan tubuh. Hiperaktif biasanya juga terutama pada
usia prasekolah, namun sebaliknya dapat terjadi hipoaktif. Beberapa anak
juga didapatkan gangguan pemusatan perhatian. Juga didapatkan adanya
koordinasi motorik yang terganggu, kesulitan belajar mengikat tali
sepatu, menyikat gigi, memotong makanan dan mengancing baju.
5. Respon Abnormal tehadap Perangsangan Indera
Beberapa
anak menunjukkan Hipersensitivitas terhadap suara dan menutup
telinganya bila mendengar suara yang keras seperti suara petasan, sirine
polisi, gonggongan anjing. Mereka mungkin sangat sensitif terhadap
sentuhan, ada juga anak yang tidak peka terhadap rasa sakit dan tidak
menangis saat mengalami luka yang parah. Anak mungkin tertarik pada
rangsangan indera tertentu seperti objek yang berputar.
6. Gangguan Tidur dan Makanan
Gangguan
tidur berupa terbaliknya pola tidur, sering terbangun tengah malam.
Gangguan makan berupa keengganan terhadap makanan tertentu karena tidak
menyukai tekstur atau baunya.
7. Gangguan Afek dan Mood
Beberapa
anak menunjukkan perubahan mood yang tiba-tiba, mungkin menangis atau
tertawa tanpa alasan yang jelas. Sering tampak tertawa sendiri, dan
beberapa anak tampaknya menjadi emosional. Rasa takut yang berlebihan
kadang-kadang muncul terhadap objek yang sebetulnya tidak menakutkan.
8. Perilaku yang Membahayakan Diri Sendiri dan Agresifitas Melawan orang lain.
Ada
kemungkinan mereka menggigit tangan atau jarinya sendiri sampai
berdarah, membentur-benturkan kepala, mencabut, menarik rambutnya
sendiri, atau memukul diri sendiri, begitu juga dengan tempertantrums
(Masra, 2005).
G. Pemeriksaan Medis pada Anak Autis
Pemeriksaan
medis yang dilakukan pada anak autisme adalah pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neutrologis, tes neutropsikologis, tes pendengaran, tes
penglihatan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), EEG (Electro
Enchepalogram). Pemeriksaan sitogenetik, pemeriksaan darah, dan
pemeriksaan urine (Masra, 2005).
Berbagai langkah pemeriksaan
tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui penyebabnya sehingga
intervensi yang diberikan sesuai atau tepat.
H. Diagnosis Banding
Menurut Masra (2005), gangguan Autisme harus dibedakan dengan:
1. Retardasi Mental
Keterampilan
sosial dan komunikasi verbal atau non verbal pada anak retardasi mental
sesuai dengan usia mental mereka. Tes intelegensi biasanya menunjukkan
suatu penurunan yang menyeluruh dari berbagai tes. Berbeda dengan anak
autis yang hasil tesnya tidak menunjukkan hasil yang rata-rata sama.
Kebanyakan anak dengan saraf retardasi yang berat dan usia mental yang
sangat rendah menunjukkan tanda-tanda autisme yang khas, seperti
gangguan dalam interaksi sosial, stereotip dan buruknya kemampuan
berkomunikasi.
2. Schizofrenia
Kebanyakan anak dengan
schizofrenia secara umum tampak normal pada saat bayi sampai usia 2 -3
tahun, dan baru kemudian muncul halusinasi, gejala yang tidak terdapat
pada autisme. Biasanya anak dengan schizofrenia tidak retardasi mental,
sedangkan pada autisme sekitar 75 – 80 % adalah retaradasi mental.
3. Gangguan Perkembangan Bahasa
Kondisi
ini menunjukkan adanya gangguan pemahaman dan dalam mengekspresikan
pembicaraan, namun komunikasi non verbalnya baik dengan memakai gerakan
tubuh dan ekspresi wajah. Juga tidak ditemukan adanya stereotip dan
gangguan yang berat dalam interaksi sosial.
4. Gangguan Penglihatan dan Pendengaran
Mereka
yang buta dan tuli tidak akan bereaksi terhadap rangsang lingkungan
sampai gangguannya terdeteksi dan memakai alat bantu khusus untuk
mengoreksi kelainannya.
I. Prognosis Autisme
Walaupun
kebanyakan anak autisme menunjukkan perbaikan dalam hubungan sosial dan
kemampuan berbahasa seiring dengan meningkatnya usia, gangguan autisme
tetap meninggalkan ketidak mampuan yang menetap. Mayoritas dari mereka
tidak dapat hidup mandiri dan membutuhkan perawatan di institusi ataupun
membutuhkan perawatan di institusi ataupun membutuhkan supervisi terus
(Masra, 2005).
J. Penatalaksanaan atau Program Terapi pada Autisme
Menurut
pendapat Masra (2005), ada banyak terapi yang bisa diterapkan semua
bertujuan membantu penyandang autis mengejar ketertinggalannya. Seiring
dengan meningkatnya jumlah kaum autis, kian bervariasi pula cara
pendekatan yang dilakukan untuk menanggulanginya. Masing - masing
pendekatan ini tentu saja tergantung dari profesi sosok yang ditangani
si penyandang autisme. Seorang psikologi contohnya, mungkin cenderung
melatih terapi tingkah laku. Sementara psikiatri atau dokter menerapkan
terapi biomedikasi.
Mengingat penyebab pasti autisme belum diketahui
dan sifatnya sangat individu, penanganannya tidak diarahkan untuk
menghilangkan sumber masalah. Artinya autisme berbeda dengan penyakit
TBC misalnya yang harus dibasmi keenam kuman tertentu yang menjadi
penyebabnya. Sementara autisme merupakan gangguan kompleks yang tidak
bisa semata-mata berpatok pada hasil pemeriksaan laboratorium. Jadi
semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat akan dapat
tercapai hasil yang optimal.
Berbagai macam program terapi yang bisa diterapkan pada anak autisme, diantaranya yaitu :
1. Pendekatan Edukatif
Anak
dengan autisme seharusnya mendapat pendidikan khusus. Rencana
pendidikan sebaiknya dibuat secara individual sesuai dengan kebutuhan
masing-masing anak. Yang terbaik bagi mereka adalah suatu bentuk
pelatihan yang sangat terstruktur, sehingga kecil kesempatan bagi anak
untuk melepaskan diri dari teman-temannya, dan guru akan segera
bertindak bila melihat anak melakukan aktivitas sendiri. Dalam pelajaran
bahasa, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi
bila fokus pembicaraan mengenai hal-hal yang ada dalam kehidupan
sehari-hari. Pada beberapa anak bisa dicoba dengan melatih bahasa
isyarat
2. Psikoterapi
Psikoterapi individual dapat membantu
mereka mengatasi kecemasan / depresi maupun perasaan tertekan karena
merasa dirinya berbeda dengan orang lain. Tepatnya, yang bersangkutan
akan diajarkan berperilaku sosial yang tepat. Dengan demikian, depresi
sosialnya yang kaku dan terbatas, diharapkan dapat diatasi secara
perlahan. Konseling kelompok ini sebaiknya diberikan ketika diagnosis
autisme pertama kali diberikan hingga akan memberi manfaat pada orang
tua untuk membantu menerima kenyataan pahit tersebut.
3. Terapi Tingkah Laku
Dasar
pemikirannya, perilaku yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan
bisa dikontrol / dibentuk dengan sistem reward dan punishment. Pemberian
reward akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan,
sedangkan punishment akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang
tidak diinginkan.
Salah satu metode yang berbasis paham behavioristik
ini adalah metode lovaas yang aslinya disebut Applied Behavioristik
Analysis (ABA) ini adalah metode. Hal penting yang perlu diingat
mengenai terapi tingkah laku adalah pendekatan yang bersifat individual.
Artinya anak yang akan mengikuti terapi ini harus dianalisis dulu,
tingkah laku apa saja yang ditampilkan saat ini. Kelebihannya, terapi
ini dapat diberikan pada siapa saja, bahkan pada anak yang masih sangat
muda usianya.
4. Terapi Biomedikasi
Terapi ini menggunaan
bantuan obat-obatan untuk mengontrol gejala autisme. Yang jelas terapi
ini tidak dimaksudkan untuk mengoreksi kelaian susunan syaraf yang
ditemukan pada penyandang autis. Melainkan memanipulasi kerja
neurotransmitter agar penyandang autis berperilaku normal. Pemberian
obatpun bersifat sementara, artinya hanya digunakan saat perkembangan si
anak terganggu. Karena anak penyandang autis masih dalam tahap tumbuh
kembang sehingga bila sel otak anak yang baru sudah menggantikan fungsi
sel otak yang rusak maka obat-obatan tidak diperlukan lagi.
Dosis
terendah digunakan untuk mempertahankan terapi dan perlu juga diikuti
oleh "drug holiday" yaitu waktu-waktu bebas obat. Tujuannya yaitu untuk
mengistirahatkan tubuh dari kerja obat. Selama mengikuti terapi ini
tekanan darah, denyut jantung, kandungan obat dalam darah, jumlah sel
darah, fungsi liver dan ginjal serta tinggi dan berat badan harus
dikontrol. Bila pemberian dengan dosis tertentu menunjukkan perbaikan
(improvement) dalam perilaku yang terkontrol obat tertentu maka setelah
waktu tertentu dosisnya akan diturunkan. Jika setelah dosisnya
diturunkan anak menunjukkan gejala yang meningkat biasanya dosis akan
kembali dinaikkan dan harus dipantau
Obat-obatan yang digunakan antara lain :
a. Antipsikotik : Untuk memblok reseptor dopamin.
b. Fenfluramine : Untuk menurunkan serotinin
c. Nalfresone : Untuk antagoniss opioida
d. Simpatomimetik : Untuk menurunkan hiperaktivitas
e. Clompramine : Untuk anti depresi
f. Clonidine : Untuk menurunkan aktivitas moradrenergik
Selain
terapi diatas ada terapi tambahan lainnya yaitu, terapi wicara, terapi
sensori integration, terapi musik, terapi diet, dll
http://puskesmas-oke.blogspot.com/search?updated-min=2009-01-01T00%3A00%3A00-08%3A00&updated-max=2010-01-01T00%3A00%3A00-08%3A00&max-results=31
StaTiStik
Categories
- Anatomi dan Fisiologi (4)
- Asuhan Keperawatan (ASKEP) (4)
- Daftar Alamat Dinas Instansi (2)
- Data Pegawai (1)
- Farmasi (33)
- Gigi dan Mulut (3)
- Gizi (6)
- Imunisasi (1)
- ISPA (2)
- Jaminan Kesehatan (1)
- Ka. UPTD PKM GM (1)
- Kab.Muara Enim (1)
- KB (11)
- Kegiatan PKM GM (2)
- Kesehatan Lingkungan (Kesling) (6)
- Kesehatan Reproduksi (KESPRO) (5)
- KIA (4)
- Narkoba (2)
- Obat (14)
- Pedoman dan Juknis (1)
- Penyakit (25)
- Posyandu (3)
- Posyandu Lansia (1)
- PPGD (7)
- PPGD (Gawat Darurat) (1)
- Profil Puskesmas (6)
- Program Puskesmas (2)
- Protap Emergency (7)
- Protap Penyakit (8)
- Puskesmas (4)
- Rumah Sakit (1)
- Seputar Ibu Hamil (15)
- Simbol Obat (2)
- Software (3)
- Tips Sehat (2)
- VISI DAN MISI (1)
- Web Links (2)
- pkmgunungmegang.blogspot.com
- Merupakan puskesmas Rawat Inap / UGD yg terletak di Kecamatan Gunung Megang, membawahi Kec. Gn.Megang & Kec Benakat dengan keseluruhan adalah 14 desa wilayah kerja
Creator
Senin, 05 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar